Infrastruktur Di Indonesia
Salah satu yang menghambat perekonomian Indonesia saat ini adalah lambatnya pembangunan infrastruktur -- hal ini ditandai dengan kurangnya kualitas dan kuantitas infrastruktur atau prasarana. Baik infrastruktur "keras" (yang merujuk kepada jaringan fisik seperti jalan dan bandara) maupun infrastruktur "non-fisik" atau "lunak" (seperti pasokan listrik, kesejahteraan sosial dan kesehatan) Indonesia tampaknya memiliki kesulitan untuk mendorong pengembangan struktural dan secara cepat.
Sejak pemerintah Orde Baru yang otoriter di bawah kepemimpinan Suharto diganti dengan era reformasi pada akhir 1990-an, pengembangan infrastruktur di Indonesia tidak sejalan dengan kecepatan pertumbuhan ekonomi yang kuat -- yang terjadi setelah pemulihan dari krisis keuangan Asia di tengah commodities boom yang sangat menguntungkan Indonesia pada tahun 2000-an. Akibat kurangnya infrastruktur, pertumbuhan ekonomi Indonesia gagal mencapai potensi penuh.
Bagaimana Kurangnya Infrastruktur Menghambat Pembangunan Ekonomi di Indonesia?
Ketika keadaan infrastruktur di sebuah negeri lemah, itu berarti bahwa perekonomian negara itu berjalan dengan cara yang sangat tidak efisien. Biaya logistik yang sangat tinggi, berujung pada perusahaan dan bisnis yang kekurangan daya saing (karena biaya bisnis yang tinggi). belum lagi adengan munculnya ketidakadilan sosial, misalnya, sulit bagi sebagian penduduk untuk berkunjung ke fasilitas kesehatan, atau susahnya anak-anak pergi ke sekolah karena perjalanannya terlalu susah atau mahal.
Pembangunan infrastruktur dan pengembangan ekonomi makro seharusnya memiliki hubungan timbal balik, karena pembangunan infrastruktur menimbulkan ekspansi ekonomi melalui efek multiplier. Sementara ekspansi ekonomi menimbulkan kebutuhan untuk memperluas infrastruktur yang ada, untuk menyerap makin besarnya aliran barang dan orang yang beredar atau bersirkulasi di seluruh perekonomian. Namun, kalau infrastrukturnya tidak dapat menyerap peningkatan kegiatan ekonomi (dan tidak cukup banyak infrastruktur baru yang dikembangkan) maka akan terjadi masalah -- mirip dengan arteri yang tersumbat dalam tubuh manusia, yang menyebabkan kondisi bahaya yang mengancam kehidupan karena darahnya tidak bisa mengalir.
Ini menjelaskan situasi paradoks bahwa buah yang diproduksi di dalam negeri bisa saja lebih mahal dibandingkan dengan buah yang diimpor dari luar negeri. Beberapa tahun yang lalu konsumen di Jakarta sering mengeluh karena jeruk impor dari China lebih murah di supermarket-supermarket di Jakarta dibandingkan dengan jeruk buatan Indonesia sendiri.
Selanjutnya, biaya logistik yang tinggi di Indonesia bisa menyebabkan perbedaan harga yang substansial di antara provinsi-provinsi di nusantara. Misalnya, beras atau semen jauh lebih mahal di Indonesia bagian timur daripada di pulau Jawa atau Sumatra karena biaya tambahan yang timbul dari titik produksi ke end user. Dengan kata lain, jaringan perdagangan yang lemah di Indonesia, baik antar-pulau dan intra-pulau, menyebabkan tekanan inflasi berat pada produk yang diproduksi dalam negeri.
Infrastruktur yang kurang memadai juga mempengaruhi daya tarik iklim investasi di Indonesia. Investor asing penuh kekhawatiran untuk berinvestasi di, misalnya, fasilitas manufaktur di Indonesia kalau pasokan listrik tidak pasti atau biaya transportasi sangat tinggi. Kenyataannya, Indonesia sering diganggu pemadaman listrik, meskipun negeri ini dinyatakan berkelimpahan sumber daya energi. Kasus pemadaman listrik cukup lumrah terjadi di daerah-daerah selain Jawa dan Bali .
Menurut data yang diterbitkan oleh Kamar Dagang Indonesia dan Industri (Kadin Indonesia), dari total pengeluaran perusahaan di Indonesia, sekitar 17 persen diserap oleh biaya logistik. Padahal dalam ekonomi negara-negara tetangga, angka ini hanya di bawah sepuluh persen.
Hal-hal demikian jelas membuat para investor berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk berinvestasi di Indonesia. Sementara itu, masalah logistik yang tidak efisien (yang mencakup bidang transportasi, pergudangan, konsolidasi kargo, clearance perbatasan, distribusi dan sistem pembayaran) menghambat peluang para pengusaha untuk memperluas bisnis mereka.
Infrastruktur fisik yang kualitasnya kurang baik dapat menyebabkan masalah yang lebih buruk. Tidak dapat dipungkiri, para investor harus mempertimbangkan kondisi Indonesia secara geografis. Lokasi Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa menyebabkan wilayahnya berada di area curah hujan tropis berat. Dipadukan dengan lokasinya yang terletak di Cincin Api Pasifik, membuat Indonesia rentan dengan bencana alam (misalnya gempa bumi dan tsunami). Hal ini dapat menjadi gangguan besar untuk arus barang dan jasa.
Bayangkan, bahkan gempa yang relatif kecil di Indonesia dapat menyebabkan kerusakan serius -- termasuk mengakibatkan korban jiwa -- karena sebagian dari infrastruktur Indonesia tidak cukup kuat untuk menyerap kekuatan gempa itu. Sementara itu, selama musim hujan (tahunan), pemeliharaan infrastruktur yang buruk juga menyebabkan banjir, dan dengan demikian, mendorong inflasi -- karena kekurangan supply, akibat jaringan distribusi yang terganggu.
Setelah segudang catatan infrastruktur di atas, mengerjakan infrastruktur sosial (termasuk sistem pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial), akhirnya masih menjadi tugas susulan bagi Indonesia. Bisa dikatakan Indonesia masih memiliki jalan panjang untuk mengejar ketertinggalan. Namun jika negeri ini sungguh-sungguh ingin mengembangkan tenaga kerja yang sehat, terampil, dan innovation-driven, maka Indonesia perlu mengatasi hal ini sesegera mungkin.
Pemerintah Indonesia & Pembangunan Infrastruktur
Pemerintah Indonesia sadar akan pentingnya untuk memperbaiki keadaan infrastruktur sehingga iklim investasi dan bisnis menjadi lebih menarik. Saat ini, tidak ada cukup banyak jalan, pelabuhan, bandara, dan jembatan di Indonesia (ekonomi terbesar di Asia Tenggara), sedangkan - tidak jarang - kualitas infrastruktur yang sudah ada tidak memadai. Namun, pengembangan infrastruktur Indonesia (baik infrastruktur keras maupun lunak) bukanlah tugas yang mudah. Nusantara terdiri dari sekitar 17,000 pulau (meskipun banyak dari pulau-pulau ini tidak ada penghuni dan tidak menunjukkan aktivitas ekonomi). Karena berbentuk kepulauan lebih kompleks (dan lebih mahal) untuk meningkatkan konektivitas dan menyiratkan ada kebutuhan untuk fokus pada infrastruktur maritim.
Saat ini, transportasi laut lebih mahal daripada transportasi darat karena infrastruktur maritim di Indonesia itu belum dikembangkan secara substansial. Ini juga menjelaskan mengapa - meskipun Indonesia adalah kepulauan terbesar di dunia dan, dengan demikian, memiliki perairan dan laut yang luas - bisnis makanan laut (seafood) di Indonesia masih tertinggal (ini sebagian besar disebabkan oleh kurangnya fasilitas transportasi cold storage, yang juga menghambat bisnis hortikultura di Indonesia).
Pemerintah-pemerintah di era pasca-Suharto tidak sesukses dengan Suharto, Presiden kedua Indonesia, dalam mencapai pembangunan infrastruktur. Hal ini terutama disebabkan oleh konteks politik yang berbeda: demokrasi dan desentralisasi di era pasca-Suharto menyiratkan bahwa pemerintah pusat tidak bisa lagi menggunakan kekuatan militer untuk memperoleh tanah yang diperlukan untuk proyek-proyek infrastruktur. Sebaliknya, pemerintah di era demokrasi harus bergantung pada putusan pengadilan, yaitu proses panjang dan putusannya tidak selalu sesuai kehendak pemerintah. Sementara itu, desentralisasi kekuasaan kadang-kadang menyebabkan bahwa pemerintah daerah tidak mau mendukung rencana infrastruktur pemerintah pusat karena tidak ada cukup banyak keuntungan finansial bagi pejabat pemerintah daerah.
Pemerintah pusat yang kurang kuat dibanding dulu juga berarti bahwa telah menjadi lebih kompleks untuk mengembangkan proyek-proyek infrastruktur besar yang mencakup tanah di lebih dari satu provinsi. Koordinasi dan komunikasi di antara pemerintah daerah dan pusat di Indonesia boleh dikatakan lemah, yang biasanya disalahkan pada kualitas lemah sumber daya manusia di tingkat lokal. Sementara itu, kadar birokrasi (red tape) di Indonesia sangat tinggi - baik di pusatmaupun daerah - yang sering mengakibatkan keterlambatan (atau pembatalan) proyek infrastruktur karena pembuatan aturan pada tingkat pusat biasanya mencakup isu-isu makro, sedangkan fine-tuning dilakukan melalui berbagai peraturan menteri serta peraturan daerah, sehingga birokrasi memainkan peran besar dan yang menyebabkan kerangka peraturan yang tidak jelas karena koordinasi antara pusat dan daerah tidak optimal.
Terakhir, masalah terjadi karena hubungan dekat antara elit politik dan elit korporasi di Indonesia (baik di tingkat pusat dan daerah). Kedua kelompok terutama terfokus pada peningkatan kesejahteraan mereka sendiri, bukan kesejahteraan masyarakat setempat. Hal ini terkadang menyebabkan keterlambatan dalam pembangunan infrastruktur misalnya saat elit politik lokal memberikan konsesi pada perusahaan teman (yang mungkin telah membantu untuk membiayai kampanye elit politik lokal), sementara perusahaan teman itu tidak mampu menyelesaikan proyek infrastruktur tersebut. Bahkan, konsesinya dijual kepada pihak ketiga dengan menyaku keuntungan. Ini berarti bahwa banyak waktu berharga telah berlalu sebelum proyek infrastruktur itu baru ditangani secara serius.
Dalam konteks kompleks ini Presiden Joko Widodo mencari pendekatan baru untuk mencapai terobosan yang sangat dibutuhkan dalam rangka meningkatkan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Misalnya, anggaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur telah meningkat tajam sejak Widodo memimpin negara ini (ini juga dimungkinkan karena pemerintah telah memotong subsidi energi).
Leave a comment